Di sore hari yang terik kali ini, putra bungsu keluarga Jeong itu memutuskan untuk pulang naik kereta saja. Suasana hatinya masih buruk, ia tak ingin terlalu cepat sampai ke rumah.

Semalam Asa memikirkan tentang hubungan papinya dengan orang yang memang sudah sangat dekat dengannya beberapa waktu belakangan. Yang membuatnya sakit hati dan marah adalah selama ini mereka berdua berniat sembunyi di belakang Asa, entah apa tujuannya.

Yang jelas ia sangat kecewa.

Ia memercayai Taeyong sebesar ia percaya pada Wanda, atau mungkin lebih dari itu. Taeyong memang selalu penuh kasih dan sabar ketika memperlakukannya juga saudara-saudaranya. Namun hal tersebut tak cukup untuk membuat Asa menerima apa-apa yang terjadi beberapa malam yang lalu.

Bilang Asa egois, ia hanya ingin hidup tanpa perlu khawatir. Kalaupun mati, ia ingin punya keluarga yang menyayangi, bukan hanya sekadar jadi pelengkap dan dilupakan.

Namun Asa tahu, tak seharusnya ia bersikap sekasar ini pada Uncle Yong. Ia bahkan mengabaikan pesan-pesan yang dikirimkan oleh pria cantik itu. Ia juga tahu mengenai roti berbentuk lucu yang dikirimkan padanya melalui satpam sekolah.

Maka ia bertekad akan memperjelas semuanya malam ini. Entah ia yang akan sakit hati atau semua akan ikut menelan pahit, yang jelas ia tak akan lari lagi. Ia akan memberikan kesempatan kepada sang ayah untuk memberi penjelasan, dan ia juga hanya ingin didengar.

Jarum jam menunjukkan pukul empat sore kala Asa sampai di stasiun tujuannya. Ia bergegas turun dan menelfon sopir pribadinya.

“Jemput Asa ya, pak,”

”...”

“Tapi jangan bilang orang rumah, diem aja. Ok?”

”...”

“Ok. Asa tungguin. Jangan lama-lama ya, panas.”

Memang benar suasana peron stasiun tempatnya turun itu penuh sesak akan lautan manusia, ditambah terik sinar matahari yang masih menyengat membuat kulit putih Asa menjadi kemerah-merahan.

Sembari menunggu jemputannya datang, Asa bertukar pesan dengan Wendy, atau yang akrab disapa Wanda olehnya. Bibirnya berdecak sebal lantaran Wendy mengatakan bahwa 'seminggu lagi, ya, Wanda balik. Masih hectic nih, anak ganteng.'

Sial. Harus betah-betah lihat papi sama uncle, dong, batinnya murung.


Jaehyun sampai di rumahnya sekitar pukul tujuh malam, lantas bergegas menuju kamar anak bungsunya dengan harapan pria cilik itu ada di sana. Ia tak jadi mengajak kekasihnya berkunjung, lantaran pria cantik itu malah menghabiskan waktu dengan anak kembarnya. Maka ia memutuskan ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara dari hati ke hati dengan Asa.

Rasanya sudah lama semenjak ia menyempatkan waktu menjenguk Asa di ruangannya, tempat teraman yang ia punya. Suasananya masih sama seperti sejak saat pertama kali Asa datang menempati kamar ini, hanya beberapa tambahan furniture dan barang-barang Asa yang tampaknya semakin sesak memenuhi ruangan.

“Pi?”

Jaehyun menemukan sosok anaknya sedang mengeringkan rambut dengan handuk, melangkah pelan dari arah kamar mandi.

Hey, son. How are you feeling?

Uhm, good. Kinda,” sahut Asahi kala merasakan usakan papinya di kepala. Jaehyun mengambil alih handuk dari tangan anaknya, lantas berganti mengeringkan rambut yang masih setengah basah itu.

“Asa bisa sendiri, Pi,” anak itu mendumel sembari memutar bola matanya malas.

Jaehyun hanya tergelak kecil, justru menyeret tubuh anaknya untuk duduk nyaman di atas bed. “Dedek kemaren kemana aja? Bobo di mana?”

“Yaaa ada pokonya. Papi pasti nanya si Tohari, kan,”

“Yang dari konoha?”

Asa hanya berdehem menanggapi pertanyaan receh papinya. Baru kali ini ia merasa sangat canggung dengan ayahnya sendiri.

“Papi tau pasti Asa marah banget sekarang. Asa boleh kecewa, papi yang salah karena nggak kasih tau Asa dulu,” pria itu mengambil nafas sejenak, menatap figur anaknya yang menunduk dan terkesan ogah-ogahan mendengar.

“Tapi papi juga mau minta maaf lagi, kalo papi nggak bisa mundur kali ini. Papi sangat mau dengerin alasan Asa, jadi ayo terbuka sama papi ya, nak?”

Mendengar penuturan ayahnya membuat Asa jadi sedikit terenyuh. Selama ini papi hanya memikirkan kebahagiaan anak-anaknya tanpa memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri. Dan kala papi mulai menemukan bahagianya, ia malah bersikap tantrum seperti anak kecil.

Asa malu dan menyesal.

“Dek?”

“Asa cuma takut kalo nanti papi udah ngga sayang sama Asa kayak sebelum-sebelumnya, pasti papi udah terlena sama yang baru. Mainan baru kan, lebih diminati, kayak yang di Toy Story,” ujar Asa pelan dengan kepala menunduk.

Jaehyun merasa hatinya tersayat, bagaimana bisa putranya memiliki pemikiran semacam ini?

“Asa, mau papi jatuh cinta sama siapapun, kamu tetep anak papi. Kamu tetep yang papi sayang dari dulu. Kamu dan kakak-kakak kamu akan selalu punya tempat sendiri di hati papi. Ibaratnya nih, hati papi bukannya dibagi-bagi tapi tambah satu lagi, buat uncle Yong. Asa sampe sini paham, kan?” Jaehyun dengan sabar dan lembut memberi pengertian pada anak lelakinya.

Remaja tanggung yang kerah kaosnya basah terkena tetesan-tetesan dari rambutnya itu terlihat menahan isak, menyadari hal tersebut membuat Jaehyun merengkuhnya dalam pelukan. “Asa itu anugerah yang selalu papi syukuri, papi selalu merasa kalau papi masih sangat kurang sebagai orang tua. Tapi Asa selalu bikin papi yakin kalau papi berhasil, papi punya anak-anak yang hebat. Makasih ya, Asa.”

Tumpah sudah seluruh wujud kecewa dan kesal yang dimiliki oleh Asa. Tangisnya terasa ngilu di telinga Jaehyun, tapi ia lega. Semua beban dan ketakutan yang setiap hari diutarakan oleh Taeyong seakan sudah terangkat, hilang. Jaehyun bersyukur, ternyata memang sesuatu yang baik akan diberikan jalan yang baik pula oleh Tuhan.

Ya, di dalam sebuah keluarga pasti akan selalu ada konflik, tak semuanya akan berjalan mulus; seiya sekata. Namun satu yang harus diingat, tak akan ada yang memelukmu sehangat keluarga, pun yang menerimamu seikhlas rumah.