3 a.m Surabaya
Lagu milik The Paper Kites mengalun pelan di penjuru kamar bercahaya temaram. Hujan mengguyur pelan di luaran sana, menghadirkan suasana sendu dan dingin yang menggigit. Keinginan Jaehyun untuk bergelung dalam selimut semakin besar, tidak sejalan dengan tugas yang masih menumpuk di atas meja.
Orang bilang, hujan datang membawa kenangan. Bagi Jaehyun, segala yang semesta tunjukkan membuatnya teringat akan sang kekasih. Ah, dua hari sudah keduanya tak bersua. Bukan karena jarak, kesibukan keduanya seolah tak mengizinkan mereka bertemu kala rindu membelenggu.
Jaehyun bukan pria penyabar, apalagi tentang Taeyong. Kalau bisa Jaehyun akan pamer pada seluruh dunia, mengatakan kalau ia pemilik hati si cantik berwangi vanilla. Ia seakan tak bisa lepas dari Taeyong, ia begitu mencintai kekasihnya sebanyak nafas yang dihela tiap detik.
Taeyong merupakan sosok yang sangat berarti di hidup Jaehyun. Ia alasan Jaehyun hidup. Mereka menggantung mimpi-mimpi besar bersama di kaki langit. Taeyong....segalanya bagi Jaehyun.
Tepat setelah kennytheking menyelesaikan bait terakhir lagunya, Jaehyun membanting pelan pulpen yang ada di tangannya. Jemarinya terasa nyeri setelah berkutat dengan tugas-tugas sialan selama lebih dari tiga jam.
“Taeyong udah tidur belum ya?”
Jaehyun bergumam pelan sebelum meraih hand phone dan men-dial nomor kekasihnya. Menunggu bunyi sambungan terganti dengan suara Taeyong yang mengantuk. Ya, ini sudah jam sebelas malam dan Jaehyun tidak bisa sekadar menunggu hari berganti untuk mengucap rindu yang entah ke-berapa kali pada Taeyong.
“Je?”
“Hai. Kenapa belom tidur, hm?”
“Kamu telfon...kebangun akunya,” dumel Taeyong sebal. Jaehyun tertawa pelan, membayangkan betapa menggemaskannya lelaki bermata kucing tersebut.
“Maaf, abis kangen banget. Besok mau ke apart aku? Sleep over nonton Netflix?”
“Kamu ngga pulang? Mama chat aku nyariin kamu Je.”
Jaehyun menghela nafas pelan. Harus berapa kali Taeyong mendengar bahwa Jaehyun menempatkan keluarga jauh di bawah peringkat Taeyong. Ia terlalu...kecewa. Seiring berjalannya waktu ia menyadari bahwa keluarga bukanlah hanya yang terhubung darah denganmu, namun adalah tempatmu pulang; satu-satunya yang menerimamu kala dunia tak berpihak.
“Okay I’ll come to stay over there tomorrow. I miss you too, big baby.”
“Alright alright can’t wait to kiss you.”
“Pervert!”
“Hahaha. Tidur lagi ya, sayang? Maaf bangunin kamu.”
“Uh-uhm. Cepet bobo Je. I love you!”
“I love you more. Bye,” Jaehyun menutup panggilan dengan senyum terpatri. Bagaimana bisa ia tanpa Taeyong? Mungkin ia perlahan akan mati.
Saat ini Taeyong sedang membereskan sisa-sisa makanan ringan pendamping menonton yang berserakan di ruang tengah apartemen Jaehyun. Prianya sedang mencuci piring dan gelas sisa makan malam mereka, karena ia yang tadi memasak. Mereka berbagi tugas agar dapat segera melepas peluk di atas ranjang.
“Bebe? Udah?”
“Bentarrr ini sodanya tinggal dikit kamu mau minum engga?”
Jaehyun menelengkan kepalanya, “engga yang, buang aja.”
“Okaaay.”
Keduanya bergegas pergi untuk sesi berpelukan melepas rindu, seharian bersama belum cukup bagi mereka.
“Makasih udah dateng hari ini. Aku ngerasa waras abis liat kamu.”
Taeyong yang masih sibuk mengatur posisi bantal di kepalanya tergelak, “apaan sih waras, emangnya kamu gila kemarin?”
“Gila merindukanmu sih iya.”
Tawa pelan terdengar mengalun dari bibir tipis sewarna buah persik. Taeyong tertawa dengan mata yang berpendar, membuat Jaehyun larut dalam galaksi yang ada di sana.
“Ih geli banget hahaha gombalan bapak-bapak!”
Jaehyun fokus memandangi pria kecil dalam pelukannya. Mata selegam arang berbingkai bulu mata lentik yang cantik. Jaehyun yakin ia pria paling beruntung di dunia.
“Yang, aku mau ngomong sesuatu deh.”
“Apa?”
Suara Taeyong terdengar serius, memecah angan Jaehyun tentang semesta dan kepercayaan aneh sang kekasih tentang alien.
“Rencana kamu ke depannya gimana? Kamu gaada niatan pergi dari Surabaya?”
“Surabaya penuh dengan aku dan kamu yang, gimana mau pergi deh.”
Taeyong mendengus sebal, dia kan serius. Untung Jaehyun gemas, jadi Taeyong maafkan.
“Aku seriuuus. Kalo aku lanjut ke tempat yang jauh kamu mau gimana Je?”
Taeyong memainkan jemari indah dan ramping milik Jaehyun. Sembari mencibir iri mengapa Tuhan begitu mencintai kekasihnya.
“Bercanda ah kamu. Mana bisa aku jauh-jauh hhh.”
Jaehyun melesakkan hidung bangirnya di tumpukan rambut sang kekasih, mencium aroma menenangkan dari sana. Sedang yang lebih kecil terdiam, menggigit ujung bibir dengan isi kepala yang berkecamuk.
Taeyong tahu, cepat atau lambat dia dan Jaehyun akan membicarakan hal ini. Ia hanya tidak siap. Tidak akan pernah siap.
“Aku...harus ke Manhattan, Je.”
Hening. Hanya terdengar suara dengungan air conditioner yang bekerja keras melawan panasnya kota pahlawan. Detik-detik penuh kesunyian masih berlangsung. Taeyong merasa tenggorokannya tercekat, bahkan tak mampu menelan ludah.
“Je?” Taeyong mendongakkan kepalanya pelan, mencoba menangkap figur prianya lebih jelas. Yang lebih muda masih termenung, entah bertarung melawan apa dalam angannya.
“Berapa lama?”
Taeyong mengerjap. Sedikit terkejut mendengar suara gamang dari Jaehyun.
“Entah? Bunda pingin aku lanjutin karir di sana. Om tante di sini udah makin menua, rasanya ngga pantes aku repotin terus.”
Jaehyun memejamkan mata, merasa pening karena otaknya dipaksa memproses hal-hal mengejutkan dengan tempo cepat.
“Ngga bisa di sini? Apa yang kamu cari di sana? Di sana ngga ada aku, Yong.”
Oh. Taeyong rasanya ingin meraung pada Tuhan memohon agar situasi hidupnya dipermudah barang sekali saja.
“Je, gamau coba? Kita bukan anak kecil yang hubungannya seumur jagung. Aku percaya sama kita.”
Jaehyun melonggarkan pelukannya, membuat Taeyong merasa kosong; gusar dan tak diinginkan.
“Taeyong, sayangku, pembahasan ini bukan sekali dua kali. And we both know how it ended...”
Persetan tentang Jaehyun dan segala ketidakpercayaannya terhadap jarak serta waktu. Taeyong pikir, mereka dan akhir yang indah akan bersanding pada waktunya. Ia merasa bodoh sekarang. Jaehyun tetaplah Jaehyun.
“Kamu gamau coba? Meski sama aku? Jaehyun, denger, kita sama-sama tau apa yang kita rasain. Kita bukan satu dua bulan bareng, Jaehyun. Lima tahun ga cukup buat kamu percaya sama kita?”
“Bisa ganti topik? Aku gamau kita ribut.”
“Terus mau dibahas kapan? Nunggu aku beneran ke Manhattan dengan kamu yang abu-abu gini? Kapan, Jaehyun?”
Siapa yang menyangka malam yang harusnya dihabiskan untuk mengobati rindu berujung adu. Jaehyun lelah, ia lebih dari paham kalau kekasihnya juga lelah. Mereka tidak bisa berpikir jernih dan rasional. Mereka tidak seharusnya membahas ini sekarang. Tapi Taeyong benar, sampai kapan?
“Aku ngga bisa, Yong,” lirih yang berlesung pipit pelan. Si cantik terkekeh gamang. Menertawakan kisahnya yang terlihat seperti opera sabun.
“Aku flight besok, jam 3 pagi. Kamu tau ke mana harus cari aku. Maaf Je, kalo kamu gamau berjuang, aku menyerah. I love you. Now or in another life.”
Jaehyun seketika merasa hampa. Ia merasa marah, entah pada siapa. Taeyong pergi, entah untuk kembali atau selamanya. Silakan lontar caci maki, Jaehyun terlalu benci sepi dan merindu sampai ingin mati.
Jaehyun tak lagi menaruh percaya pada setia, karena nyatanya akan kalah dengan yang selalu ada. Pengalaman hidupnya pahit, ia bahkan ingin terbangun dengan sisa memori yang berisi Taeyong saja. Terlalu enggan mengingat luka dan darah di masa lampau.
Kekasihku, maaf dan terima kasih. Melepasmu adalah kesalahan terbesar dalam hidup, tapi memintamu tinggal sama saja membunuh mimpi dan harapanmu. Aku masih akan mengejar mimpi yang kita gantung di kaki langit. Aku masih mengagumimu sebesar aku mengagumi semburat senja.
Sayang, melepasmu adalah bagian dari agendaku mencintaimu. Take care of yourself, Yong. See you in another life.