Kalut mungkin adalah kosa kata yang tepat untuk menggambarkan pagi Jaehyun kali ini. Dikecupnya sayang Taeyong yang masih terlelap, ia enggan memabngunkan kekasihnya yang masih larut dalam mimpi, dan dengan langkah terburu ia bergegas menemui Irene di kantornya.

“Pi??? Uncle dah bangun?”

Jaehyun menatap anak sulungnya dengan perasaan campur aduk, “cek aja di kamar tamu ya, bang. Nitip semuanya, papi berangkat dulu,” lantas diusaknya ujung rambut Jeno pelan.

“Hah? Buru-buru amat?”

Sulung Jeong yang tidak tahu menahu perihal kegelisahan sang ayah itu melangkah riang menuju kamar yang dihuni oleh Taeyong. “Uncleeee! Mau sarapan apaaaa?”


“Sebenarnya mau dibawa ke pengadilan pun bos yang menang, hanya saja di situasi seperti ini takutnya malah membawa desas-desus tidak mengenakkan bos,” ujar Irene setelah menjelaskan perihal gugatan tidak masuk akal yang dilontarkan oleh mantan mertua bosnya.

“Jalur amannya gimana?”

Jaehyun melemparkan tatapan tak sabar kala Irene justru tak kunjung menjawab pertanyaannya. “Jalur amannya biarkan anak-anak sama popa moma saja,” sahut seseorang yang tiba-tiba menjejal masuk ke dalam ruangan Jaehyun.

“Oh, pa?” Duda tiga anak itu membungkukkan badannya hormat, sekaligus terkejut mengapa mantan mertuanya bisa ada di sini.

Pria tua yang disapa hanya melengos tak acuh, mengamati kantor mantan menantunya yang nampak makin stabil dalam berkarir.

“Kamu sibuk sama dunia kamu, anak-anak kurang perhatian dan kasih sayang. Mending saya dan momanya yang urus.”

Jaehyun yang mendengar tuduhan tak masuk akal itu mengernyitkan dahinya heran, apa-apaan, sih?

“Maaf, pa. Sebelumnya atas dasar apa ya saya dituduh seperti ini? Setahu saya anak-anak nyaman dan bahagia,” ujar Jaehyun tak mau kalah.

Setelah beberapa saat terdiam, pria tua itu memberi jawaban yang makin tak masuk akal bagi Jaehyun, “saya tahu anak-anak nggak setuju sama kekasih baru kamu. Gimanapun juga mami mereka nggak akan pernah terganti.”

Oh, wow! Aneh, batin Jaehyun kesal.

“Justru anak-anak yang sekarang sangat menyayangi kekasih saya, papa jangan membuat kesimpulan tidak masuk akal seperti ini. Lebih baik semua diselesaikan dengan kekeluargaan, pa.”

Ingatkan Jaehyun untuk tidak memukul kepala botak itu dengan tongkat golf di ujung ruangannya.

“Papa cuma khawatir sama aset-aset yang diturunin sama mendiang anak papa, enak banget nanti pasangan baru kamu dan anak-anaknya bisa menikmati.”

“Hahahaha, maaf, pa,” Jaehyun yang kelepasan tertawa itu mendapat delikan tajam dari sang mantan mertua, “maminya anak-anak juga dapat asetnya dari saya, apa bedanya?”

Jelas sekali pria tua itu hanya bersikap serakah dan ingin menambah kekayaan dengan menjarah jatah cucu-cucunya. Lagipula Jaehyun sudah terlalu kaya, ia mampu memberikan anak-anaknya lebih dari yang dimaksud oleh pak tua itu.

Setelah mendapatkan pertanyaan skakmat dari Jaehyun, lantas pria itu masih bersikukuh menginginkan hak asuh atas anak-anak Jaehyun, yang mana hal tersebut sangat tidak masuk akal. Mengingat Jaehyun adalah orang tua kandung yang sah dan lebih dari mampu untuk mengurus mereka hingga tujuh turunan.

“Kalau papa hanya bersikap sampah seperti ini, saya nggak ada waktu buat nanggepin. Ambil aja tanah-tanah yang anak-anak saya dapat dari mendiang anak anda, pulau milik mendiang juga akan saya balik nama menjadi milik anda. Namun setelah ini saya berharap papa tidak mengganggu keluarga saya lagi, mengingat penghubung di antara kita sudah tidak ada,” ujar Jaehyun sarat dengan keputusan final.

Irene yang sedari tadi mendengar perdebatan itu benar-benar ingin keluar dari ruangan bosnya, namun takut dicap tidak sopan. Telinganya tidak sanggup mendengar perdebatan orang kaya yang bagaikan bermain monopoli.

“Irene?”

“Ya, bos?”

“Antar bapak ini keluar ruangan saya,” Jaehyun melipat lengan kemeja dan melihat jam yang tersemat di pergelangan tangannya, “saya ada rapat dengan client penting setelah ini.”

Wanita berwajah dingin itu tersenyum menanggapi, padahal dalam hatinya ia bersorak riang, “baik, bos.”