🌨

Malam yang seharusnya menjadi waktu di mana keluarga kecil itu menghabiskan saat-saat bersama justru berubah menjadi sebuah bencana. Remaja tanggung yang baru saja menggeret kopernya di landasan pribadi keluarganya itu mendesah lelah, bingung. Kalo balik ntar ngadepin Papi, gue belom siap, batinnya.

Maka Asa memutuskan untuk mencari penginapan di dekat kawasan rumah sahabatnya, dengan harapan sang ayah tidak mencarinya terlebih dahulu. Ia hanya perlu waktu untuk sendiri.

Orang luar boleh memiliki pemikiran bahwasanya Asa adalah anak manja dan tak bisa diatur, itu terserah mereka. Namun, jangan pernah berpikir bahwa Asa tidak mencintai keluarganya dan hanya mementingkan egonya yang tinggi, omong kosong macam apa itu?

Asa bahkan rela menukar apapun untuk kebahagiaan kakak dan juga ayahnya, ia begitu mencintai mereka sampai-sampai perasasan egois menguasai dan tak ingin berbagi. Asa takut pada kenyataan bahwa perasaan manusia itu mudah berubah, mudah dibolak-balik. Ia takut bahwa mungkin suatu hari sosoknya tak lagi berarti.

Asa takut sendiri.

Memiliki orang tua baru berarti menjalin kontrak untuk saling menyayangi sampai nanti. Namun bagi Asa, kontrak tersebut datang dengan konsekuensi bahwa yang lama akan sangat mungkin untuk dilupakan. Bagaimana nasib Asa kalau papi nanti lebih mencintai pasangan barunya? Bagaimana kalau nanti mereka memiliki anak lagi? Akankah Asa akan berteman dengan sendiri?

Anak itu hanya benci merasa tersingkir. Selama ini, ia bertahan dengan pemikiran 'semua akan baik-baik saja asal mereka berempat memiliki satu sama lain, tak perlu ada komponen tambahan untuk melengkapi.'

Melihat kebenaran yang hari ini terungkap membuat Asa merenung. Apa Tuhan memilih untuk memberinya karma? Apa Tuhan setega itu pada makhluk piatu sepertinya?

Setelah check in dan mendapat kamar yang ia inginkan, Asa merebahkan tubuhnya di atas kasur. Kepalanya berat, penuh akan pertanyaan tanpa jawaban. Sedang hatinya sesak, penuh kekecewaan yang entah kapan akan menghilang.

Ponselnya masih berdenting menunjukkan direct messages yang dikirim oleh kakak kembarnya. Ah, Jeno dan Eric itu benar-benar tidak menyerah, padahal Asa sudah memblokir kontak mereka di manapun.

“Ck, apa sih Tohari pake nelfon segala,” remaja berrambut gelap itu memaki pelan, kesal lantaran merasa diganggu.

“Sa! Lo di mane??? Gue samperin ya?”

Suara Haruto terdengar panik di seberang, yang ditelfon hanya berbaring santai menunggu mie instan dalam cupnya matang.

“Nggak usah, males gua liat muka lu.”

Kalau Haruto berada di dekat Asa, mungkin remaja tanggung bersuara dalam itu sudah memukul Asa gemas.

“Lah yaudah, lagak lo masih petentang-petenteng begini. Besok kabarin gue ya kalo udah mendingan.”

“Hmm,”

Selanjutnya terdengar bunyi telepon terputus menyambut deheman Asa. Tungkai panjangnya melangkah menuju pantry, lantas segera mengais mie instan yang kini sudah sedikit mengembang. Maklum, ia lapar. Emosi benar-benar mampu menguras energinya.

Mungkin Asa akan menghabiskan malam ini dengan menangis. Ia terlalu lelah dan kehabisan energi. Semoga esok akan ada hal-hal yang baik, untuk saat ini biarkan Asa berdamai dengan kecewa dan sakit hatinya sejenak.