/man•da•la/
Gemerlap lampu sorot mulai meredup bersama nafas yang terdengar bagai gemuruh berkejaran. Katanya, ini hidup yang dimimpikan orang. Katanya, ini hidup yang dekat dengan bahagia. Nyatanya, Taeyong tak searah dengan mereka.
Taeyong besar dengan cerita dongeng yang manis, tanpa ada akhir tragis berujung tangis. Dan bertemu Jaehyun membawanya pada satu harapan semu, bercinta bahagia tanpa terbelenggu selimut luka. Tapi sekali lagi, dunia terlampau suka menawarkan hal-hal melankolis.
Salah satu impian Taeyong yang agaknya sulit untuk diwujudkan adalah menggenggam jemari indah milik prianya, berjalan di bawah langit sore yang menggantung. Membicarakan apa saja; ia rela menukar apapun demi mendengar suara Jaehyun di sepanjang sisa hidupnya.
“Yong?”
Oh. Taeyong mengerjapkan bulu matanya beberapa kali. Terkejut karena terlarut pada angan yang terlalu jauh. Ia bergegas membungkukkan badan 90 derajat, mengucap terima kasih dan melambaikan tangan ceria.
Taeyong sudah khatam belajar bahwa ia hidup untuk menyenangkan orang lain, terbiasa menggeser prioritas miliknya ke tingkat terrendah. Persetan jika ia terdengar macam pengemis. Nyatanya ia lelah mengais tangis agar kisahnya berjalan manis.
Ia menggantungkan hidupnya di panggung sandiwara. Di pundak ringkihnya ada beribu asa dan harapan yang tak ingin ia kecewakan. Bukan sekali dua kali ia ingin membawa kekasihnya lari. Jauh, menuju bagian dunia yang tak terperi. Namun ia bukan Fir'aun yang berhati kejam. Di mana saja asal bersama Jaehyun, ia rela menanggung resikonya.
Asal bersama Jaehyun.
Hidup dengan sorotan kamera membuat hubungan mereka penuh dengan bumbu kepedihan. Menatap mata dan menggenggam jemari terlampau lama bisa berujung fatal yang menghasilkan narasi panjang berisi evaluasi. Jaehyun dan Taeyong terbiasa berkawan dengan penderitaan.
Mereka dipaksa terbiasa melampiaskan amarah dan gundah dalam peraduan desah bersama resah. Jaehyun terlampau suka menulis tiap bait puisinya bersama Taeyong. Mengukir romansa bak opera diiringi pekikan Taeyong yang menggema.
Jaehyun benci tersorot. Ia benci cintanya dikekang, tak terlepas, dan tertahan. Ingin rasanya ia mengatakan pada dunia, pada setiap mata yang menatap mereka penasaran, bahwa Taeyong adalah miliknya; rumahnya. Tempat ia berpulang menumpu bahu yang lelah.
Menjadi tersorot membuatnya jauh dari sang terkasih. Menjaga jarak adalah hal yang lumrah. Jaehyun terbiasa menelan pahit kala si cantik menatapnya muram dari sudut panggung, percayalah, ia sama menderitanya.
Dini hari menjadi waktu terbaik bagi mereka. Memadu cinta; saling menggenggam demi mencapai nirwana bersama. Jaehyun tak pernah bosan melarikan bibirnya menyusuri tubuh sang kekasih; sama halnya Taeyong yang seakan tak bosan membelai tubuh yang sudah ia hafal diluar kepala.
Seluruh penghuni lantai 5 pun 10 paham, dua sejoli ini butuh waktu lebih untuk berkomunikasi. Tak akan ada protes yang lahir meski kamar Taeyong akan bau mani di esok hari. Tak ada yang menegur meski kamar Jaehyun hancur lebur. Asal mereka keluar dengan beban yang habis; dihancurkan bersama.
Seperti dini hari yang kali ini. Ya, sex selalu menjadi jawaban yang tepat dari berbagai masalah. Jaehyun masih menjelajah lekuk milik kekasihnya dengan khidmat. Menyesap sari di ujung kemaluan milik si cantik dengan khusyuk.
“Jae— hhh noo no...not thereee nggghhh...”
Racau Taeyong seraya menggelengkan kepalanya kuat, nyatanya sekujur tubuhnya berkhianat. Ia mengangkat pinggul tinggi-tinggi, seakan tak ingin lepas dari hisapan prianya; meminta lebih. Sedang yang lebih muda menyeringai, mengusap sudut bibirnya cepat.
“Di mana, sayang? Katakan padaku di mana kau ingin disentuh.”
Mata Taeyong membeliak kala Jaehyun mengaduk lubangnya pelan. Ia ingin cepat!!! Ia ingin yang lebih besar!!! Ia ingin yang panjang hingga perut rampingnya menonjol!!!
“Jaehyun, gatal...hhh...pleasee huhu.”
Bukannya menuruti, Jaehyun makin menggila. Menambah jumlah jemari untuk mengisi lubang surgawi kekasihnya, meludah beberapa kali; tak sempat mengambil pelumas.
Taeyong merasa begitu terbuka. Terbelah di hadapan kekasihnya yang bagai predator buas, dan ia puas. Ia puas kala melihat Jaehyun menatapnya lapar. Jaehyun hanya lapar untuknya, ia tahu itu.
“Aku......ingin...ughhh...keluar....”
“Oh, sayang, bahkan aku cuma mengadukmu dengan jemariku. Kau masih menginginkan milikku? Berada di sana? Menghujammu telak?”
Geraman datang dari bibir merekah bak bunga mawar di musim semi. Lantas meraup kepala pria di atasnya, mencari bibir tebal untuk meredam teriakan yang entah ke berapa kali. Jaehyun menuruti keinginan kesayangannya, mengikuti permainan bibir penuh rasa frustasi dengan desah putus-putus.
Jaehyun membelai sayang rambut kekasihnya yang basah karena keringat. Mengecup kupu-kupu pelipis cantik beserta bekas luka di bawah mata. Taeyong membelai Jaehyun di mana saja, berusaha membalikkan posisi. Tubuhnya masih bergetar pasca mendapat pelepasan, mengundang gelak tawa kecil dari yang lebih muda.
“Ssstttt. Lemme do something for you, baby boy.”
Jaehyun terkekeh pelan, membiarkan kekasih kecilnya melakukan apa-apa yang diinginkan. Termasuk menjilat bagian vitalnya rakus, bak es krim kesukaan yang sering ia pesan.
Jaehyun yakin siapapun akan bosan mendengarnya; ia begitu mencintai Taeyong sebesar Bunda Maria mencintai anaknya. Apabila neraka ada, ia bersedia diseret ke dalamnya; asal bersama Taeyong. Ia akan mengikuti kekasihnya meski ke dunia yang gelap, penuh kubangan dosa. Nyatanya, dosa terasa lebih nikmat kala dilakukan bersama Taeyong.
Taeyong masih sibuk memasukkan daging berurat tersebut ke dalam lubangnya. Mereka melepas desah bersama kala penyatuannya berhasil. Segala amarah dan hujatan, tuntutan agensi, ini-itu yang harus dituruti; seakan melebur.
Semua yang berakal dan hidup pasti mendambakan saat-saat pulang ke rumah. Jaehyun selalu tau ke mana ia harus pulang, dan Taeyong akan menyambut penuh sayang dengan tangan telentang.
Keduanya mengejar nirwana dengan jemari yang saling menggenggam, berbumbu desah tak lupa teriakan.
“Oh, Taeyong-ku.”
Jaehyun meninggalkan gigitan kecil kala ia melesakkan kepala di perpotongan leher sang kekasih. Taeyong terlalu ketat, hangat, basah, dan itu semua hanya untuknya.
Taeyong selalu siap untuknya.
Mereka masih mengejar putih yang ada di depan sana. Menimbulkan derit ranjang yang nampaknya, ikut jengah melihat rutinitas memabukkan dua anak adam di atasnya.
Jaehyun selalu suka kala kekasih kecilnya berlagak ingin mendominasi. Meski berujung menyerah, menunggunya mengambil alih.
Kala kadar warasnya tertinggal setengah, Taeyong pasrah dibalik dan dihujam lebih kencang; dalam, dan sumpah demi Tuhan, ia dapat merasakan milik Jaehyun membesar berkali-kali lipat di dalamnya.
“Jaehyun! Di dalam. Ku mohon....keluarkan di dalam.”
Jaehyun melarikan jemarinya pada cuatan mungil di dada si cantik. Memelintirnya gemas dengan selingan godaan berupa jilatan nakal.
“Ouuuh Jesus!”
Semburan kuat di bawah sana mengundang geraman rendah dari lelaki yang berlesung pipit, diikuti teriakan putus-putus dan muncratan mani yang membasahi tubuh bagian atas milik Taeyong. Euforia kenikmatan masih membumbung tinggi bersama aroma mani menyebar di udara, menghapus partikel lavender dari aroma terapi yang tersembur di sudut ruangan.
Masih terdengar sayup-sayup lagu milik Cigarettes After Sex yang diputar lewat piringan hitam kesayangan Jaehyun.
“Nothing’s gonna hurt you baby...” Jaehyun menggumamkan bait lagu dengan ujung hidung yang digesekkan perlahan pada cuping telinga milik Taeyong, ”...as long as you’re here with me, you’ll be just fine.”
Taeyong yang masih mengatur nafas terkikik pelan kala nafas Jaehyun menggelitik telinga yang dihiasi piercing cantik sewarna ruby.
“Jaehyun, meski kamu pergi ke ujung dunia, pun ke antah berantah, I’m still gonna be with you.”
Tersenyum miris, menertawakan lakon mereka yang jauh dari kata egois. Mereka hanya ingin memadu kasih tanpa dihakimi. Sayangnya, mereka tak bisa memilih.
“Bahkan kalau aku ke ujung dunia bawa kamu kabur? Masih gapapa?”
Si cantik yang masih menyandarkan kepala di atas dada Jaehyun mendongak, menatap mata prianya, mencari secercah humor di mata indah berbingkai bulu mata yang menggantung.
“Ya gapapaaa. Paling kita cuma dicariin sama agensi, terus dibanned terus kita miskin Je. Gimana nasib panti asuhan yang mau kita bangun?”
Jemari lentik yang menggambar pola abstrak di dada Jaehyun berhenti sejenak, beralih fungsi mengetukkan ujungnya di dagu lancip dambaan insan di luaran sana.
Gemas. Kekasihnya begitu cantik dan menggiurkan, tak ayal banyak mata yang mengincar. Jaehyun menangkup pipi Taeyong penuh, mengecup bibir yang masih membengkak dengan cepat.
“Emangnya udah mikir mau bikin di mana?”
“Ih Jaehyun pasti kalo aku lagi ngomong ngga merhatiin ya? Kan aku udah sering ceritaaa!”
“Maaf, sayang, suara kamu terlalu indah. Aku sampe salah fokus jadinya.”
Mereka bukan salah satu dari kisah sempurna yang berakhir bahagia semacam milik Aurora. Tetapi mereka mengukir sesuatu yang berbeda, sesuatu penuh makna dan bahagia yang dibubuhi derita.
Taeyong yakin, asal mereka bersama; asal ia bersama Jaehyun, dunia akan baik-baik saja. Meski kisahnya pilu, asal bersama Jaehyun, ia akan membangun dongeng miliknya sendiri.
Persetan dengan agensi, Jaehyun ingin ia dan Taeyong mengukir bahagia tanpa takut dihantui sangsi.