our merry little Christmas

Buliran beku serupa heksagon mengguyur seluruh penjuru kota pagi ini. Beberapa di antaranya singgah di jendela kaca milik Ethan, remaja delapan belas tahun bersurai blonde dengan sentuhan biru di tiap ujungnya. Si empu kamar masih berusaha mengumpulkan nyawanya satu persatu, sembari mengingat pesan papanya; nanti dedek kalau udah bangun tolong bangunin Jean juga, ya.

Oh, Jean itu saudara kembarnya, by the way.

Penghidu bertulang tinggi miliknya yang diwariskan dari sang papi menghirup rakus udara dengan aroma khas natal; terhembus lepas dari pemanas di sudut ruangannya. Benaknya melanglang pada serangkaian rencana yang akan ia lakukan hari ini, di tanggal dua empat yang sepi tanpa Papi.

Jaehyun, atau satu-satunya orang beruntung yang menyandang gelar papi bagi Ethan bersaudara, merupakan seorang kepala polisi dengan etos kerja yang kuat dan dedikasi yang tinggi. Sudah dua libur natal ia lewatkan tanpa chocolate bomb panas buatan Taeyong, juga gaduh riuh dari pergulatan Jean dan Ethan kala pagi hari menyapa; berebut mengambil kado di lantai bawah, tentu saja. Jaehyun dan Taeyong terbiasa memanjakan anak-anak mereka dengan garis bawah 'kadonya harus difungsikan semaksimal mungkin', maka Desember menjadi salah satu bulan yang paling ditunggu oleh kembar tak identik tersebut.

Ethan masih khidmat memandangi langit-langit kamarnya kala terdengar ketukan halus di pintunya.

Ah, itu pasti Ruby!

Ditendangnya selimut beludru lembut sewarna arang dan dilarikannya kedua tungkai panjang miliknya untuk membuka pintu. Alisnya sedikit berjengit kala udara dingin dari lorong rumahnya menyembur pelan, hatinya menghangat melihat sepasang mata legam persis milik papanya.

“Hi Ruby! Kok udah bangun? Jean masih ngebo, ya?” Anjing tersebut mengaum senang kala kaki-kaki kecilnya terangkat di udara. Sweater Ethan terasa lembut dan hangat, Ruby sedikit (sangat) menyukainya.

Ethan yang lupa mengenakan sendal bulu rumahannya hendak berbalik kembali ke kamar kala telefon di ruang tengah berdering. Suaranya memekik seakan menyentaknya untuk segera diangkat. Oh, biasanya Papa yang akan mengangkat telefon sembari mengenakan celemek berhias mawar kesayangannya, 'dengan kediaman Jeong, ada yang bisa kami bantu?' celotehnya ramah. Namun hari ini Papa memutuskan untuk memeriksa toko kue miliknya pagi-pagi sekali, lantaran ada pesanan besar dari katedral kecil di dekat pusat kota.

Ruby masih menempel di gendongan Ethan kala remaja itu berteriak histeris, “Sir Jaehyun- apa? Hilang kontak? Oh, shi- Sorry, sorry. Saya beri tahu Papa dulu.”

Ethan kalang kabut mencari mantel panjangnya. Ia masih harus menuangkan sarapan Ruby dan membangunkan Jean. Saat ini seharusnya ia sedang menghangatkan lasagna buatan Papa untuk sarapan dan segera menghubungi kekasihnya, Juna, agar bergegas untuk mengantarkannya membeli hadiah. Namun telefon dari pihak kepolisian Seattle yang merupakan kantor tempat ayahnya bekerja memberikan kabar yang membuat to-do-list miliknya bukan menjadi prioritas utamanya lagi.

Ditepuknya punggung Jean yang disambut gerungan tak suka dari gumpalan dibalik selimut. “Bangun! Papi bertaruh nyawa untuk kita dan kau enak-enakan tidur?!”

Jean melenguh malas. Saudaranya selalu berlebihan, seperti Papa. “Ya, ya, ya, Papi adalah seorang superhero. Itu tugasnya, Ethan,” suaranya serak dan kesal. Perpaduan yang menyulut emosi Ethan di pagi hari.

“Aku serius! Kantornya hilang kontak dengan Papi. Kemungkinan dia masih terlibat baku tembak dengan gangster yang kemarin!!! Kita harus ke Papa sekarang, Jeee!”

Mendengar kata baku tembak dan gangster disebut bersamaan dengan kata papi dalam satu kalimat membuat kedua mata Jean terbuka sepenuhnya. Masih terdapat cetakan bantal di sisi kanan pipinya, namun tangannya awas menarik mantel dari gantungan di balik pintu dan mengambil asal kacamata di atas nakas. Kakinya berjalan cepat dengan diikuti Ethan yang meyusul di belakangnya. Keduanya tak sempat beradu mulut untuk memilih mobil-mana-yang- akan-dipakai atau kau-saja-yang-menyetir karena suasananya kalut.

Kabut tebal dan tumpukan salju yang tampak menggunung menyambut keduanya setelah membuka pintu garasi. Roger, anjing penjaga milik tetangganya bahkan masih menelungkup malas, terlalu jengah untuk sekadar keluar di cuaca yang kurang bersahabat.

Jean mengabaikan nasihat sang papi bahwasanya ia harus memanaskan mesin terlebih dahulu sebelum menggunakannya, apalagi di cuaca yang sedang dingin-dinginnya seperti sekarang ini. Pikirannya terlampau kalut. Ia bahkan tak ingat untuk sekadar meminum segelas teh telang hangat buatan Papa yang mungkin sekarang masih di atas kompor elektrik dapur rumahnya.

“Papa masih di toko?” Bibirnya membentuk segaris lurus dengan mata memicing, beradaptasi dengan cahaya matahari yang sedikit terhalang kabut salju.

Ethan sibuk menyambungkan panggilan dengan sang papa, “harusnya sih, iya. Papa masih mengecek pesanan sepertinya. Telefonku tidak diangkat,” giginya sibuk menggigiti ujung kuku, “cepat Je, aku takut.”

Jean mengumpat dalam hati. Ethan benar-benar jelmaan Papa. Mudah panik dan perasaannya terlalu lembut. “Tenang, everything will be okay,” I hope so, lanjutnya dalam hati. Di saat genting seperti ini, ia harus menjadi satu-satunya pihak yang waras.

Mascot toko kue milik papanya mulai terlihat kala mobil yang mereka tumpangi mengambil belokan ke arah kanan dua blok dari taman bermain. Tempat itu tampak sangat hangat, kontras dengan suasana luar yang terasa dingin mencekam. Jean memarkirkan range rover merahnya asal, dan segera mengejar kembarannya yang berlari terlebih dahulu ke dalam istana penuh makanan manis tersebut.

“Papa! where's Papa?” Beberapa pegawai yang harus berjaga hari ini mengerjap kaget. Pasalnya sepasang kembar tampan yang diketahui buntut dari bos cantiknya ini jarang sekali menampakkan diri di toko, apabila tidak dipaksa. Apalagi di tanggal yang memancarkan suasana liburan, layaknya hari ini.

“Oh, Ethan? Bos ada di belakang. Mau kupanggilkan?” Itu Dejun, salah satu pegawai kesayangan papanya yang merangkap sebagai kakak tingkat Ethan di kampus. Ia terlihat ramah dibalik meja kasir. Tapi ini bukan saat yang tepat untuk berbincang mengenai dengan-siapa-kau-menghabiskan-malam-natalmu atau kado-apa-yang-ingin-kau dapatkan-hari-ini.

“Kak Dejun, biar Ethan ke dapur aja!”

“Loh, dedek? Kenapa? Jean belum bangun ya?” Ah, itu Papa. Kedua pipinya yang bulat dan bersih tampak terkena noda tepung. Namun tatapnya masih ayu, senyumnya masih hangat semanis madu. Jean makin tak tega membayangkan akan jadi apa sang papa kalau tau belahan jiwanya dihadang marabahaya, di antah berantah pula.

“Papa...Papi, ah, Papi...–” Ethan terbata dengan tangan gemetar. Perhatian Taeyong tak lagi tertuju pada kue dengan hiasan indah bernuansa merah hati, didekatinya Ethan lalu direngkuhnya tubuh yang gemetar bak bayi baru lahir itu.

“Papi kenapa, sayang? Ssh ssshhh, it's okay. Bilang Papa dulu, jangan menangis, hm?” Dalam benak Taeyong, tak pernah terpikir bahwa ia akan mendengar anak remajanya meraung menyebut kata 'Papi...hhu Papi..' diiringi isak tangis menyesakkan.

Jean mengambil peran dewasa kali ini, dipegangnya pundak sang Papa, “we have to go to Papi's office by now, Pa.

And why is that? Papi kan lagi kerja, babies,” Taeyong mengelus pelan rambut bagian depan anaknya. Ah, mereka sudah besar sekarang. Rasanya ia baru saja menimang mereka dalam versi lebih kecil, lebih rapuh, dan lebih rewel dibanding yang saat ini.

Ethan yang masih menyembunyikan raut penuh air mata miliknya di bahu kanan sang papa menjawab gusar, “Papi hilang kontak, tadi ada yang menelefon ke rumah, Pa.”

Dan dunia Taeyong runtuh begitu saja.

Kedua kakinya yang masih kuat barang untuk menggendong bungsu kembarnya itu seakan kehilangan fungsi, dunianya goyah. Jaehyun itu...bagi Taeyong bukanlah sekadar pasangan. Lebih dari sebatas partner dan tak hanya berperan sebagai insan yang berbagi kasih.

Jaehyun itu dunianya.

Taeyong selalu suka kue buatan nenek, dengan selai stroberi yang dipetik dari kebun halaman belakang rumahnya. Dan Jaehyun selalu mengingatkannya akan hal tersebut. Jaehyun mengingatkannya dengan rumah.

Ibarat kata di tengah badai musim panas yang melanda, Taeyong akan tetap mengambil resiko untuk meminum jahe bersamaan dengan es limunnya. Jaehyun itu sehangat jahe, selembut bulu angsa, dan sewarna buah persik.

Jaehyun adalah apa yang Taeyong tulis semenjak raganya masih menyandang usia dua puluh satu. Ia adalah nama yang ada di tiap bait buku mimpinya, ditulis dengan tinta biru karena biru adalah langit di mana ia menggantung mimpi-mimpi besarnya.

Dan kala dunianya kini di ambang sirna, Taeyong merasa hidupnya tak lagi sama.

Ia mengusapkan asal kedua tangannya yang dilumuri tepung tipis, secara acak di apron berhiaskan logo bakery kebanggannya, dengan pikiran keruh yang sedang ia susun satu persatu. Diraihnya asal tas tangan berisi handphone dan dompet berisi kumpulan kartu miliknya. Ia bergegas keluar disusul oleh kedua putranya yang kelabakan mengejar langkah kecil terburu milik sang papa.

“Dedek, udah nelfon kak Mark?” Taeyong memang terlihat tenang, tapi seberkas gelisah melintang di rautnya yang ayu. Bibir tipisnya menggigit kuku resah, ujung sepatunya mengetuk dasar mobil dengan tempo yang tidak sama. Bahkan hanya dengan melihat papanya yang seperti ini, Jean tahu, bahwa papanya sedang tidak baik-baik saja.

Ketiganya sampai di kantor sang kepala keluarga dengan hasil gamang, berujung perintah tambahan agar mereka bergegas ke rumah sakit terdekat saja. Lutut Taeyong tak lagi bertulang rasanya. Pelipisnya basah mengkilat dengan detak jantung yang dentumnya terlampau cepat tak semestinya.

“Pap, are we gonna be alright?

Dada Taeyong sesak menahan sedu sedan kala mendengar tanya lirih yang dilontarkan buah hatinya. Dia tak ingat kapan terakhir kali dirinya ingin bersimpuh menangis di pangkuan ibunya, tapi kini ia benar-benar menginginkan hal itu. Kala ini, dunia terasa tak adil bagi kisahnya dan Jaehyun.

Ethan menyadari bahwasanya tak ada yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Tuhan, dan manusia harus merasakan lara di tiap roda kehidupannya. Kalau saja ia tau bahwa ciuman di pipi yang diberikan oleh papi di pagi hari yang kemarin mungkin saja menjadi ciuman hangat terakhir, ia tak akan mendorong dada ayahnya menjauh. Kau tahu? Penyesalan terasa sangat menyedihkan dan bodoh, dan Ethan merasa bodoh sekarang.

Lampu indikasi di pintu ruang operasi seakan mengejeknya, Jean benci diinjak dan dianggap lemah. Namun kali ini ia rela bersimpuh, mengharap ayahnya kembali dengan senyum menyenangkan satu paket dengan guyonan garing khas papi.

Raut bersalah disertai gelengan adalah peringkat terakhir dari hal-hal yang Taeyong harapkan, nyatanya berubah menjadi hal pertama yang ia lihat kala pintu ruang operasi terbuka. Dan hal terakhir yang ia ingat adalah ciuman manis lelakinya diiringi kalimat yang lebih terdengar seperti untaian perpisahan, sebelum semuanya hitam.

I love you, in case I didn't say that enough these days,


Ethan selalu menghabiskan sisa malam bersama Papi setelah ia dilanda mimpi buruk, dan sang papi akan merengkuhnya dengan lengan penuh sembari menepuk bokong dari si bontot kesayangannya. Tapi sudah lama sejak Ethan malu mengakui kalau ia rindu tidur bersama Papi.

Kepalanya pening, kamarnya bersuasana remang. Ia tak ingat mengapa ia bisa berakhir di dalam kamar setelah mencium jasad ayahnya untuk terakhir kali. Bahkan ia belum mengganti sweater miliknya yang sudah terasa lengket, penuh keringat. Salju masih turun di luaran sana, membuat hatinya kian mendingin. Terdengar suara gaduh dari lantai bawah, suara seperti mengaduh dan tawa riang mengudara.

Tunggu...tawa?

Okay, it's getting weird. Ethan memakai sendal bulunya asal dengan mulut menyahut panggilan Taeyong yang terdengar seperti 'Ethan, bangun sweetheart!'. Disempatkannya bercermin sebentar guna menghilangkan jejak-jejak air mata yang telah mengering di wajahnya. Ah, wajahnya terlihat bengkak dan memerah. Di hari biasa, Jean pasti mengejeknya dengan ujaran semacam kamu seperti anak gadis yang baru saja menonton drama romance, Ethan.

Ethan melangkahkan kakinya gamang di sepanjang lorong rumahnya. Suasana natal terasa lekat di penghujung pandang, namun agaknya berbanding terbalik dengan suasana hati Ethan yang mendung dan sendu. Otaknya masih menyusun kalimat apa yang akan ia lontarkan pada sang papa, entah raut mana yang harus ia tunjukkan untuk pemilik separuh hidupnya tersebut.

Sesampai di lantai bawah, ia hanya menemui Jean yang tengah menyamankan diri di sofa ruang tengah dengan kedua tangan yang menggenggam konsol. Cokelat panas di hadapannya masih mengepul, dan ada Ruby yang sedang membersihkan diri di dekat kaki Jean.

“Papa mana?”

Alis Jean berjengit pelan, diiringi suara 'huh?' macam anjing besar peliharaan sepupunya yang bernama Foxy. “Papa di dapur, by the way. Bersihkan matamu dulu, Ethan! You look awful,” sahut Jean tanpa mengalihkan matanya dari televisi.

Mendengus malas, Ethan memilih bergegas ke dapur, sembari berpikir mengapa Jean terlihat baik-baik saja. Atau, ia sedang mencoba terlihat baik-baik saja? Ethan juga tidak mengerti.

“Dedek, udah bangun?”

Ah, itu papanya. Masih mengenakan celemek berhias mawar dengan ujung hidung yang tampak memerah, pria mungil itu tak tahan dingin. Ethan segera melesakkan diri di pelukan Taeyong sesaat setelah pria cantik itu mengangkat muffin yang masih hangat dari panggangan.

“Oh, sweetheart, kau bermimpi buruk? Hm?”

Bell di pintu terdengar kala Ethan menitikkan air mata, lagi. Natal kali ini ia tak akan menolehkan kepala antusias kala pintu depan terbuka, toh ia tak akan menemukan papinya di ujung sana.

“Loh, dedek? Kok nangis? Sini kasih tau papa ada apa,” Taeyong melepaskan sarung tangan baking miliknya, lantas menghapus air mata Ethan yang sudah menganak sungai.

I miss Papi, I hope I can see him every day,—

”—Pap, ini kado untuk anak-anak. Aku letakkan di tempat biasa, ya? Jean terlalu fokus bermain sampai tidak sadar aku datang,”

Banyak yang bilang kau akan berhalusinasi kala kau merindukan seseorang dengan sangat, dan Ethan sekarang merasakan hal tersebut. Suara Papi adalah favoritnya sejak ia bayi, pelukan Papi adalah tempat ternyamannya hingga saat ini. Dan Ethan tau, hal tersebut tak akan pernah terganti.

“Loh, Ethan? Jagoan Papi kenapa nangis, hm? Mimpi buruk? Oh, my poor baby,”

Direngkuh mendadak oleh lengan kekar dan bisep berotot yang ia kenal sebagai milik ayahnya membuat Ethan terhenyak. What the hell is he doing here? Isn't he supposed to be dead???

“PAPIIIII!!!! Kok papi di rumah? Papi kan udah meninggal sehabis berantem sama gangster yang transaksi narkoba kemarin?!”

Taeyong menangkap gerak bibir suaminya yang berkata semacam 'apa dia mengigau lagi?' yang ia balas dengan gedikan bahu. Ethan sekarang sedang mencubit papinya di sana-sini, diiringin pekikan 'aduh' dari suaminya dan Ruby yang menggonggong tertarik dengan kegiatan dua orang di hadapannya.

“Kenapa ribut, sih? Aku baru pulang jam dua pagi, guys. Beri aku waktu untuk bermimpi sebentar,” Mark melongokkan kepalanya dari balik tembok tangga menuju lorong di lantai dua.

Ethan mendadak pusing dengan informasi yang harus dicerna oleh otak kecilnya. Jadi, itu semua mimpi? Dia benar-benar ingin marah karena percuma ia menangis hingga matanya bengkak. Oh, God, bahkan sang papi malah menjahilinya sekarang.

“Dedek kangen ya sama Papi? Sini, peluk dulu papinya!”

“Ogah! Papi bau,” sahutnya yang dibalas gelak tawa oleh Jaehyun.

Ah, natal kali ini mungkin memberikan warna lain dalam hidupnya. Yang kali ini mungkin membawa pengertian baru pada Ethan, bahwasanya kebersamaan adalah hal yang utama. Tak peduli Jaehyun pulang bukan di malam natal, tak penting perihal hadiah apa yang ia dapat, ia tahu bahwa minum cokelat hangat buatan Papa dalam rengkuhan Papi sembari duduk di couch sewarna nude dengan latar suara game konsol milik Jean adalah yang terbaik.

Ethan tak lagi menyisipkan rasa malu untuk sekadar meminta pelukan atau ciuman dari kedua orang tuanya, karena ia tak ingin melewatkan bak sedetikpun kasih sayang yang mengalir di antaranya.

Dan Ethan merasa beruntung. Ia beruntung masih bisa menykasikan kedua malaikatnya berciuman di bawah tumbuhan benalu bernama mistletoe yang digantung di hampir tiap pojok rumahnya.

Ethan tak ingin yang lain; asal Papi dan Papa masih mengamati rasi bintang kala Jaehyun punya waktu senggang, asal mereka masih memaknai hakikat hidup bersama, ia merasa cukup.

Ah, merry Christmas, everyone.