☁
Taeyong's pov.
Jalanan sedikit macet kala Jaehyun mengendarai mobilnya dengan tujuan utama ke rumahku. Semuanya masih mendebarkan, seperti biasa. Entah karena aku yang masih tak percaya kalau aku berpacaran dengan bosku, atau karena ibu jari Jaehyun yang membuat gerakan memutar lembut kala menggenggam jemariku.
Lampu berubah merah di pertigaan sebelum dua belokan ke arah apartemen yang sudah dua tahun belakangan aku tinggali. Jaehyun melempar senyum manis yang kubalas dengan tawa, “apa sih? Kaya remaja, deh.”
“Aku kalo sama kamu berasa masih SMA,” balasnya sambil tertawa tergelak.
“Buntutnya tiga, ngaku-ngaku SMA.”
Lalu suaranya yang serak dan dalam menggumamkan lagu milik Colde yang mengalun pelan dari pengeras suara. Lagi, aku bagai fakir cinta yang mengemis sayang dari adonis Yunani kala Jaehyun melakukan hal-hal menakjubkan seperti sekarang ini.
“Aku kasih makan batu mau?” Tanyaku setelah melepas seatbelt dan beranjak keluar dari mobilnya. Jaehyun menelengkan kepala pelan, “pake kartu aku, deh, buat belanja. Masa pacarnya dikasih makan batu?”
Sosoknya masih setia mengekor di belakangku, memencet tombol lift untukku, dan memijat bahuku pelan kala lift mulai beranjak naik.
“Capek, ya? Hari ini hectic banget, deh,” ujarnya sembari mengendus-endus rambutku dari belakang.
Diperlakukan seperti ini benar-benar membuatku merasa disayang. Beruntung sekali setan-setan cilik itu mendapat sosok ayah yang seperti ini.
Tanganku mengusak rambutnya yang kini ada di pundakku lantaran ia menelungkupkan kepalanya di sana, “kamu hari ini juga ruwet banget, galak.”
Jaehyun tertawa kecil, bibirnya melayangkan kecupan kupu-kupu di pelipis dan daun telingaku, sembari mengucap, “maaf, kamu lucu kalo lagi ngomel-ngomel.”
Sesampainya di unitku, aku mengutusnya untuk mandi dan berganti dengan setelan rumahan yang memang selalu siap sedia di bagasi mobil. Sedangkan aku menyibukkan diri di dapur, dalam upaya mengenyahkan pemikiran bahwa kami benar-benar terlihat seperti pasangan yang baru menikah.
Setelah menghabiskan waktu bermenit-menit untuk menetukan makan malam kali ini, akhirnya aku memutuskan untuk membuat chicken cordon bleu saja, mengingat hanya tersisa beberapa bahan makanan di dalam kulkas. Jaehyun datang tepat pada saat aku selesai menggulung dada ayam dan mendiamkannya di dalam freezer, duduk menunggu bagai anak baik di pantry dapur.
“Yang?”
“Hm?” Aku menjawabnya dengan deheman singkat, terlalu malu untuk menatapnya tepat di mata.
“Anak-anak kan beberapa hari lagi kelar ujian, terus pada minta liburan,” ucapannya menggantung lantaran bibir tebalnya mencomot buah strawberry yang kebetulan sudah kucuci bersih.
“Ya, kasih aja liburan. Kasian 'kan, pasti pada jenuh, capek juga.”
Tanganku sibuk melepas wrap dari gulungan ayam, membalurinya dengan tepung juga telur, dan menggorengnya perlahan setelah selesai membalurkan tepung roti. Jaehyun mengamati apa-apa yang kulakukan dengan tatapan tak sabar.
“Asa mau ngajakin kamu, katanya. Mau?” Tanya Jaehyun kala aku menggoreng gulungan ayam berikutnya.
Mataku akhirnya mengalihkan perhatian padanya, menelengkan kepala dengan pose berpikir yang dibuat-buat. Padahal, sebenarnya otak kecilku sedang bertanya-tanya apa yang ada di benaknya saat ini.
“Emang kemana sih?”
“Ke pulaunya Jeno, udah lama nggak ditengokin juga.”
Jawaban Jaehyun yang terkesan enteng membuatku mendesah heran, “kalian ini sekaya apa, sih? Sampe punya pulau segala, belom lagi jet, heli, mobil. Kamu ngepet ya?!”
Pria dengan lesung pipi yang mendadak jadi salah satu hal yang kusukai itu tergelak histeris, “iya aku ngepet, anak-anakku yang kusuruh jadi babi.”
'Kan, jawabannya bikin emosi aja.
Aku yang kesal hanya diam merengut melanjutkan pekerjaanku setelah mendengar jawaban pria yang baru-baru ini menjadi kekasihku itu. Mengundang jawaban penuh rayu dari bibirnya yang dulu sering mengomel bak ibu-ibu.
“Ya engga, dong, Sayang. Aku tuh rajin aja, makanya tajir. Masa mau ngidupin malaikat pake duit haram,”
“Alaaah gombal muluuu. Mana Pak Jaehyun galak yang hobinya nyuruh aku bikin laporan?” sahutku mencibir.
Aku bisa merasakan sosok Jaehyun yang bergerak mendekat, menyahut piring di tanganku dan ikut mengelap bersih semuanya, “aku galak ya, Yang?”
“Banget. Anak-anak juga jahil, ada-adaaa aja yang bikin aku uring-uringan,”
Jeda sejenak menyambut, hanya terdengar suara penggorengan dan tangan Jaehyun yang menyusun piring-piring bersih dalam satu tumpukan.
“Maaf, ya? Aku nggak janji kalo ke depannya semua bakal mudah, tapi aku harap kamu bisa sabar hadepin anak-anak. Bareng-bareng sama aku, okay?”
Tatapannya teduh, sampai-sampai aku hampir larut dan melupakan ayam yang kini sudah cokelat keemasan. Aduh, Jaehyun. Bisa nggak sih, jangan bikin aku jadi kaya orang bego gini?