☁
Sore yang tenang di sebuah apartemen mewah terletak di kawasan elit. Hanya terdengar suara ribut konsol game yang disertai beberapa lontaran umpatan ringan. Juyeon, si pemilik hunian kini sedang mengamati kekasihnya yang sibuk bermain game dan bersandar nyaman di dadanya, seakan dirinya adalah kursi gaming ternyaman di dunia.
“Kamu stress ya, Ric?”
Kedua mata Eric masih fokus menatap karakter game yang tengah melawan bos terakhir, jempolnya masih bergerak cepat memencet konsol yang ia genggam. “Eric?”
“Hmm? Ya, Juju? Bentaaaar,” bertepatan dengan bibirnya yang menyahuti sang kekasih, karakter dalam game yang dimainkan oleh Eric sudah menang telak melawan bos terakhir. Remaja dengan marga Jeong itu mendongakkan kepalanya menatap Juyeon dari pemandangan bawah dagu, membuat Juyeon gemas dan menciumnya secara acak di seluruh permukaan wajahnya.
“Ih jangan cium pake ludah dong! Basah ni muka guaaa Jujuuu,” omel Eric sembari duduk menjauh, menyeka wajahnya. Juyeon hanya tertawa, gemas dengan tingkah laku Eric yang sangat lucu.
“Kalo sedih tuh dibagi ke aku, kalo gelisah juga. Jangan pas marah doang ke aku, ya?' Juyeon berbisik di telinga kekasihnya, “denger nggak sih, Eric diajak ngomong?”
Tersangka yang diajak bicara malah asyik memanen buah di kebun animal crossingnya, membuat Juyeon geram dan menindih sosok yang biasanya berisik itu.
“Jujuuu gabisa napas gue bangsat!”
“Jawab dulu kalo gue ngomong makanyaa?!”
“Ngga bisaa! Nanti gue nangis,”
Remuk rasanya hati Juyeon mendengar ceplosan jujur dari bibir Eric. Ia tahu, selama ini kekasihnya yang berkepribadian ceria itu selalu menahan sakit hati dan rasa sedihnya sendiri. Hanya saja, Juyeon menunggu Eric untuk memercayainya dan menumpahkan sesak yang ia simpan. Namun tampaknya ia tak tahan lagi untuk terus menunggu. Eric membutuhkannya, dan ia harus melawan ego sang kekasih agar remaja itu mengerti bahwa ia tak sendiri. Tak akan pernah.
“Kalo nangis ya gapapa, gue tempat teraman lo buat ngapa-ngapain, sayang,” Juyeon lantas merengkuh kesayangannya yang rapuh dalam pelukan hangat.
Eric tersedak dalam tangisnya, mengingat sudah lama sejak ia menangis dan melepas beban yang ada di dalam hatinya.
“Lo ngga happy? Orang rumah bikin ngga happy?”
Jemari panjang Juyeon mengusap jejak-jejak air mata yang menganak sungai di pipi Eric, bahkan hidungnya kini mulai mengeluarkan ingus, “ih, Eric ingusan!”
Belah bibirnya melontarkan ejekan pedas, namun tangannya dengan sigap mengambil tissue dan membersihkan hidung yang sudah memerah karena tangis itu.
“Engga...gue cuma ngerasa kadang tuh, apa ya, orang asing? Left out, gitu.”
Juyeon mendekap Eric yang masih terisak di lehernya, dengan sabar telapak tangannya yang lebar menepuk punggung kekasihnya pelan, “Eric, sayangnya Juju, nggak ada yang bikin lo merasa asing. Lo cuma butuh penyesuaian, dan gue ada di sini buat nemenin lo. Jangan pernah ngerasa gitu, okay?”
Eric belum pernah merasa seberuntung ini di hidupnya. Harusnya ia tak lagi ragu kemana hatinya harus pulang.
“Hmm, thank you for always being with me, bang,” Juyeon hampir tertawa kalau saja Eric tak melontarkan pertanyaan “lo tau kan I love you tons?”
“I know, sayang. I know. I love you more, tho.“