🌨

Sudah genap hampir seminggu Taeyong memikirkan pembicaraanya dengan Asa melalui pesan teks waktu itu. Benaknya jadi memikirkan apa yang terjadi kalau-kalau di dalam rahimnya memang ada bakal adik untuk Asa. Belakangan ini pikirannya benar-benar penuh, dan hal tersebut membuatnya jadi kurang fokus.

Selepas ia menghabiskan malam bersama bosnya, ia memang segera melakukan apa-apa yang diperintahkan oleh Ten. Namun hal tersebut tetap tidak menutup kemungkinan bahwa usaha Jaehyun yang hari itu membuahkan hasil, bukan?

'Cek ke obgyn apa ya? Lagian udah lama banget sih ga cek kesehatan di sana. Tapi parno amat gue? Kan udah minum pil juga,' batinnya berkecamuk ribut.

Pagi ini ia harus mewakili Jaehyun melakukan kunjungan proyek ke luar kota. Dibumbui sedikit drama karena sejujurnya Jaehyun tidak tega membiarkan kekasih kecilnya itu pergi sendiri, namun Taeyong berhasil meyakinkan lelakinya bahwa ia akan baik-baik saja.

“Kamu yakin nggak kenapa-kenapa? Aku bisa kok nanti,” Jaehyun masih bersikukuh menahan Taeyong pergi. Hal itu membuat karyawan-karyawan lain berdecak sebal, manja amat sih gitu doang gak becus, desis mereka mengejek Taeyong.

Sebagai seorang personal assistant tentu ia harus dituntut serba bisa dan siap, hanya saja bos yang sekaligus merangkap sebagai kekasihnya itu sudah bisa dipastikan tak akan mengizinkannya bepergian sendirian semudah jentikan jari.

“Bos kan masih harus ke pameran yang di Semarang? Nanti malah cape. Udah saya aja yang ke Bandung,”

“Iya bos, nanti kan sama saya juga,” akhirnya Irene turun tangan untuk membujuk bosnya yang memang dikenal keras kepala.

Jaehyun merasa kalah telak, maka ia membiarkan saja Taeyong dan Irene mewakilinya untuk mengunjungi proyek yang baru ditandatangani bulan lalu itu. Ia harus pasrah pergi hanya bersama sopir kepercayaannya, tanpa Taeyong.

“Kalo udah sampe sana bilang aku, ya?” Bisik Jaehyun kala Taeyong akan bergegas pergi.

“Hm, pasti bos.”


Jeno baru saja menginjakkan kaki di garasi rumahnya kala Asa berlari panik ke arahnya. Ngape ni bocil? Pasti mau malak gue, batin Jeno menebak.

“Apa sih, Sa? Gausah lari nanti nabrak vacuum yang lagi jalan-jalan noh,”

“ABANG!”

“Iya ini abang. Kenapa heh?” Jeno jadi bingung sendiri melihat raut Asa yang tampak panik dan pucat.

“Uncle bang! Anu, uncle kecelakaan!”

“Hah??!!”

Remaja tanggung itu rasanya bagai disambar petir. Bahkan gitar kesayangannya yang tadinya ia gendong turut terjatuh dramatis.

“Di mana? Kecelakaannya di mana?”

“Udah di sini, tadi otw dari Bandung,” sahut Asa cepat.

“Eric?”

“Kak Eric udah di rumah sakit, dia duluan yang tau dari onti Irene.”

Keduanya dengan kalut memerintahkan sopir untuk membawa mereka ke rumah sakit. Sembari masih berusaha mengumpulkan sisa-sisa akal sehatnya, Jeno melemparkan tanya.

“Papi udah tau?”

Hening sejenak sebelum Asa menggelengkan kepalanya pelan, “uncle kritis, bang. Papi masih di Semarang sore tadi.”