☁
Tetesan air mengguyur deras kala Asa dengan impulsif bergegas ke rumah sakit. Pikirannya kalut; sebagian dari egonya memaki, sebagian yang lain ingin cepat-cepat memeluk ayahnya. Entah mengapa perasaannya sedikit cemas, bukan, melainkan ia sangat cemas. Mengingat ucapan kakak-kakaknya, remaja tanggung itu merasa kalut dan ingin menangis.
Taeyong itu sosok yang sangat baik, menyayangi Asa meski ia tahu pasti bahwa Taeyong memperlakukannya dengan hati-hati; bak takut berbuat salah. Dan ia terlampau egois untuk menilai Taeyong hanya karena hal ini. Asa benar-benar pecundang tak tahu malu.
Memangnya apa yang salah dengan punya adik?
Lantas pertanyaan itu terngiang di otak kecilnya. Sungguh, tak ada yang salah jika kau terbiasa diurus oleh tangan hangat ibumu sedari kecil. Asa masih sangat enggan berbagi kasih sayang ayahnya. Membayangkan pria itu memuji makhluk kecil yang kerjanya macam mesin pembuat liur dan hanya bisa menangis membuat hatinya bak disayat pedih.
Asa ingat di usianya yang kelima, Jaehyun dengan tawa yang paling ia suka berkata bahwa “mau sekarang sampai Asa udah punya cucu, Asa tetep bayinya papi.”
Namun, agaknya menjadi dramatis dan memikirkan diri sendiri di situasi ini bukanlah pilihan yang baik. Uncle Taeyongnya hampir meregang nyawa, dan masih dalam keadaan kritis hingga saat ini. Sangat tidak bijak bagi Asa untuk tetap bersikap keras dan tak tersentuh.
Yang tidak diketahui orang banyak, ia hanya butuh tempat untuk menyendiri. Ia butuh waktu sejenak untuk berpikir. Asa merasa akhir-akhir ini terlalu banyak hal yang terjadi. Otak mini miliknya masih harus memproses dengan cermat, dan ia hanya tak ingin diganggu.
Namun tentu, ia tak mengelak kalau ia marah dan kecewa. Ia merasa dibohongi berkali-kali, merasa kalau Tuhan tak pernah adil pada anak piatu sepertinya. Sayang, ia lupa memikirkan perasaan saudara-saudaranya. Mereka pasti juga memiliki keresahan masing-masing, dan dengan ia bersikap seperti ini justru menambah beban orang-orang yang ia sayangi. Asa sangat malu saat ini.
Sesampainya di lorong ruang ICU, tempat yang sama kala ia mendengar kabar paling tak mengenakkan tempo hari, ia menemui papinya yang terduduk kusut dengan kemeja lusuh. Dasinya lepas entah kemana, lengannya digulung asal. Pria paruh baya itu terdengar menghela nafas panjang, tampak jelas bahwa ia sedang berada di ambang kegelisahan.
“Dateng juga lo,” Asa tak berani menimpali sapaan tengik Eric, karena ia memang patut mendapat pelajaran yang setimpal atas ketololannya.
“How's uncle?“
“Lagi dapet tindakan sekarang, gue harap lo ngga telat buat minta maaf.”
Apabila Asa ditanyai apakah ia sanggup menukar seluruh hidupnya dengan kesempatan melihat Taeyong lagi, maka ia akan menyetujuinya tanpa berpikir panjang.
Jaehyun yang tadinya terdiam mendengarkan ucapan sinis anak-anaknya lantas melempar gestur pada Asa untuk mendekat. Diusapnya sayang pria kecil yang kini sudah beranjak remaja dan sama keras kepalanya dengan dirinya sendiri itu.
“Asa udah makan?”
Yang ditanyai hilang fokus menatap raut ayahnya bak mayat hidup; kantung matanya menghitam, bibirnya kering.
“Papi, how's uncle? How's....the baby?“
Jaehyun mendongak menatap langit-langit sebelum melemparkan senyum pahit pada Asa, “the baby didn't make it, little boy. Uncle Yong lebih menderita kalau papi paksa selametin keduanya,”
“You love him that much, don't you?“
“I do. I do love him that much, tapi dedek tetep bayinya papi sampai kapanpun. Dan papi yakin bahwa this is the best way for all of us. Uncle Yong belum tentu siap dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada, lagipula I still love him the way he is.”
Asa hanya menunduk khidmat mendengar ujaran ayahnya, “jadi papi sama uncle nggak tau menahu perihal itu?”
“Kalau kamu merasa dibodohi, percaya deh papi juga gitu awalnya,” Jaehyun tergelak, “tapi ternyata ini beneran surprise buat kita semua. Tuhan kayanya cuma ingetin biar kita sabar dan selalu berserah,” lanjut Jaehyun dengan pandangan menerawang.
“Kalau kamu mikir papi nggak sedih, boong banget ya kayanya. Tapi mau gimanapun keadaannya, asal papi masih sama kalian, sama Uncle Yong, papi bakal baik-baik aja. Ada atau nggak ada baby, papi tetep bahagia. Toh, ada Asa yang bakal jadi bayi papi sampe tua, ya kan dek?”
Jeno yang sedari tadi memerhatikan ayah dan adiknya berbincang hanya tertawa dalam hati, Asa bener-bener permata hatinya papi, ya.