Yang kedua, Christian Yu

Menabur garam di atas luka nampaknya jadi hobi barumu, ya?

Yang kali ini sangat fantastis.

Masih kental berbumbu tragis.

Aku menemukanmu meringkuk di pelataran kondominiumku, berbalut hoodie hitam yang kuberi di hari pentingmu dua tahun lalu. Kalau-kalau memoriku tak salah mengingat.

Rautmu kusut tak terbaca, berbekal sesak di dada kuhela sosokmu ke dalam, ke tempat yang kau tuju tiap kau gundah. Sayang, kurasa kau benar-benar wujud dari siksa Tuhan yang nyata.

Sedari awal aku paham, ia yang sosoknya tegar mampu melindungimu dari kerasnya karang. Satu yang tak kusadari, ia tak bisa menjagamu dari dirinya sendiri.

Aku rasa, protektif menjadi pagar antara aku dan kau. Aku yang tak pernah istimewa di matamu harus puas meneguk luka melihatnya menggandengmu dengan aroma angkuh di wajahnya.

Aku hanya terdiam menunggu waktu dan bagianku.

Kupikir kau dan tawa yang dihabiskan bersamanya merupakan pembuktian, sindiran halus untuk perasaanku yang kurang ajar. Tapi, sayang, air matamu yang membanjir bersama umpatan dari persikmu yang manis membuatku tersadar.

Taeyong, kau berhak mendapatkan lebih dari apapun di dunia. Dan sialan bernama Christian itu tak ada di dalam daftarnya.

Demi Tuhan! Ia mendapat keistimewaan mencintaimu dua empat per tujuh. Ia mendapat apapun yang kuinginkan, termasuk mencumbumu di studio kecil milikmu yang remang, bak memantik api di relungku yang penuh genangan minyak tanah. Tetapi ia lebih suka sibuk melancong kesana-kemari bak predator tak habis energi.

Aku pernah mencintainya, Jaehyun. He's not that bad.

Persetan dengan cintamu yang salah arah!

Namun aku tetaplah si tolol yang mencintaimu sebanyak itu. Aku tetap memelukmu dengan hangat meski kau memukulku, menyentak ingin bertemu si pria Yu.

Dan untuknya, kuucap 'terima kasih, keparat'.

Taeyongku yang sedang menyatukan kepingannya perlahan kini retak karena keegoisan jiwa mudamu yang meledak. Tak apa, ini jatahku.

Dengan konsekuensi pedih mengoyak luka. Meski benakku kadang dipenuhi tanya.

“Kapan kau melihat ke arahku? Barangkali, perasaanku?”