Yang pertama, Johnny Suh

Konon katanya yang pertama ialah yang menggores luka paling dalam, bukan begitu?

Dini hari yang ke sekian kali kala tangismu meraung mengusik tiap sel di bawah kulitku. Ku dengar, bibir persikmu menumpah fakta bahwa hubunganmu dengannya usai tiga malam lalu. Namun aku tahu, Taeyong. Aku tahu tentangmu melebihi dewi batinmu.

Kau belum melupakannya.

Tidak, kau tak akan sanggup melakukannya.

Ialah yang dikenal orang bak bintang lapangan. Ladang inspirasimu meski nyatanya hadirku yang kau cari di penghujung fajar.

Studio kecilmu saksi bisu sedalam apa ia mengoyak lukamu. Sedalam apa ia menghujam hatimu dengan tedeng aling-aling cinta.

Lantas apa yang kau cari, sayang?

Apa yang kau lihat darinya yang tak nampak pada dzatku?

Dia Johnny, dengan titel penambat hati yang pernah hadir di sanubarimu. Sosok cassanova yang pernah hinggap bermekaran di relung batinmu, yang dulu kau puja hingga bersimpuh tak berdaya.

Tolol, kataku.

Aku yang selalu mencipta bahagia untukmu bagai tertutup gerhana olehnya yang tak tau malu datang menoreh luka, meninggalkan nestapa berderai air mata. Mungkin memang sudah saatnya kutelan cemoohan.

Mungkin memang aku terlalu sinting, selalu mencintaimu kala kau masih menyebut namanya di tiap tidur panjangmu. Lalu kau masih tersenyum pedih mengingat hangat peluknya, sebelum ia tak lagi menegurmu dengan sentuhan manis di ujung ponimu.

Namun terima kasih tetap kuhantarkan padanya. Aku memang tak pernah ikhlas akan sebagian hatinya yang sempat tertinggal padamu, sulit untuk kau lepas. Meski begitu ia banyak mengajarkanmu bahwa cinta tak sekadar indah dan iya, cinta juga berupa tidak dan buruk.

Terima kasih, sayang.

Untuk membuatku bertanya mengapa ia sia-siakan Taeyongku. Untuk membuatku tahu bahwa Johnny hanya satu dari bajingan tengik di luaran sana yang berselimut bulu angsa.