open up
Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul sepuluh malam, terlampau larut bagi anak SMA berkeliaran, terlebih memunculkan diri di rumah gebetan.
Namun di sinilah Jericho, harap-harap cemas menunggu Nalesha membuka pintu depan.
“Eh? Siapa ini anak ganteng jam segini dateng ke rumah?”
Remaja tanggung itu tentu kaget, lantaran tak mengira bahwa ibunda dari temannya—calon gebetannya— yang akan mendengar deru mobilnya memasuki pelataran kediaman bernuansa asri tersebut.
“Oh, saya Jericho, Tante.” Jericho bergerak gesit mencium punggung tangan sang empu, dihadiahi usapan manis di ujung kepala. “Ayo masuk! Bunda panggilin Naleshanya dulu,”
Nalesha masih asik mematut diri di depan cermin, mencari baju rumahan yang tidak terlalu norak untuk dilihat. Tsk! Jericho ini efeknya nggak main-main. Benar-benar. Baru kali ini ia dibuat pusing hanya karena didatangi teman sekolah.
Kedua netranya membola saat mendengar bundanya berbincang dengan seseorang, yang kemungkinan adalah Jericho!
Dalam sekali gerakan diraihnya parfum wangi vanila kesukaannya. Jangankan ganti baju, ia kini justru sibuk membetulkan letak bantalnya yang berantakan.
Aduh Nalesha, Jericho paling disini cuma lima belas menit kan?
“Nah, itu perawannya dateng. Bunda tinggal ke kamar ya, Jer?”
Nalesha menghentakkan kaki kesal, sembari meneriakkan “aku bukan perawaaan!!!”
Jericho acap kali membayangkan bagaimana Nalesha bertingkah saat bersama orang terdekatnya, dan ia memang lelaki keparat yang beruntung bisa melihat secara langsung saat ini.
“Dek, nanti Jericho disuruh makan dulu aja. Angetin lasagna atau kalo anaknya mau tawarin rawon aja, udah bunda angetin.” Nalesha memutar bola matanya malas atas wejangan bawel dari bundanya.
“Kenapa nggak bunda yang nawarin?”
Wanita paruh baya itu tergelak, cantik. “Anaknya malu, baru ketemu masa bunda udah bawelin.” Ujung hidung Nalesha ditoel pelan, “sekalian pedekate atuh dek, bunda paham kok.”
Nalesha menghentakkan kaki sebal setelah sang bunda berlalu terbirit menuju kamarnya, dihadiahi tawa Jericho yang sejujurnya membuat deg-degan.
“Je? Kok malem banget ke sininya? Mau diskusi apa?”
Jericho bersumpah ia sudah terlampau sering mengucap perihal Nalesha cantik, gemas, atau Nalesha ini, Nalesha itu. Namun Nalesha memang selalu cantik, dan Jericho tak akan pernah lelah memujinya. “Aku nggak ada tempat pulang, anak-anak lagi nggak available. Is it okay kalo aku ke sini?”
Ah, Jericho. It must’ve been so hard for you.
“Gapapa! Kan kita temenan juga.” Nalesha tersenyum kecil, membuat Jericho turut menyunggingkan senyum dibalik sorotan matanya yang sedih. “Aku panasin rawon dulu, ya? Kamu harus makan yang anget-anget.”
Jericho pikir rumah adalah bangunan dengan komposisi orang-orang yang familiar denganmu, tak peduli rumpang atau lengkap. Nyatanya, rumah yang ia temukan ada pada Nalesha. Lelaki cantik dengan mata bulat malu-malu itu adalah sebenar-benarnya rumah yang ia cari selama ini.
“Yong? Uh, is it Taeyong or Nalesha for me?”
Nalesha tertawa pelan. Panggilan Nalesha selalu membuatnya kesal, namun entah mengapa it sounds so good when it comes out of Jericho’s mouth.
“Nalesha is okay. Kenapaaa Jee?”
Jericho menahan tangan Nalesha yang hendak mengambil nasi untuknya, “makasih ya? Kalo ngga ada kamu kayanya aku tidur di pelataran parkiran mall.”
Tak seperti dugaannya, Nalesha justru memberinya tepukan manis di ujung kepala. “Kembali kasih. Sekarang duduk manis terus makan sampe abis ya. Ok? Aku ambil—“
“Sha?”
“Hmmm? Apa lagiii Jerichooo?” Nalesha kesal lantaran kegiatannya sedari tadi diinterupsi oleh Jericho. Sudah mati-matian jaga detak jantung, pula.
“Lo cantik.”
Ucapkan selamat tinggal untuk kewarasan Tarendra Youngga Nalesha.
“Aw! Kok gue dipukul pake centong sih Sha???”
Salah sendiri, bikin jantungan aja. Batin Nalesha resah dalam hati.
—
Keduanya sudah dalam keadaan bersih, rapi, hangat, dan siap untuk tidur. Jericho masih tampak mengagumkan dalam balutan kaos putih dan boxer selutut seadanya, dan Nalesha saat ini sedang menahan detak jantungnya yang masih saja menggila ketika berada di dekat Jericho.
“Mind to tell me something?” Nalesha menatap lekat sosok Jericho yang berbaring di sebelah kanannya.
“Tapi pas udah siap aja, gapapa kok.”
Remaja cantik itu sesungguhnya masih tidak percaya bahwa akan ada hari di mana ia dan Jericho berbagi kasur, serta memandang langit-langit kamarnya yang berhias bintang dari lampu proyeksi secara bersama-sama.
“Rumahku tuh rumpang, Yong.” Jericho tertawa miris setelah memulai ceritanya. “It’s been ten years since aku punya seseorang untuk dipanggil papa.”
Nalesha mendengarkan dengan seksama, mengamati Jericho yang bergumul dengan bermacam emosi. “Dan orang itu masih suka ngobrak-ngabrik rumah kami, bikin mama dan adek-adek aku takut.” Jericho membalas tatapan khawatir yang terpancar jelas dari binar mata Nalesha, “tapi sasaran utamanya aku, that’s why aku selalu ngehindar kalo papa dateng. Aku gamau mama ngelindungin aku lagi dan kena tamparan persis kaya beberapa tahun yang lalu.”
“Aku marah dan sakit hati, tapi aku masih belum legal untuk bales perbuatan papa.” Nalesha melarikan jemarinya pada helaian rambut Jericho yang lembut, “aku mau kita semua lepas dari papa tapi aku masih bau kencur.”
“Dan papa bakal terus ngejar aku sampe aku nyerahin semua warisan dari kakek,” lanjut Jericho lirih.
Oh, that’s the main problem.
“Kenapa papa kamu sampe kaya gitu? Kamu kan nggak salah, Je…”
Jericho menarik lengan Nalesha untuk memeluknya, “kakek tau bejatnya papa. Dia selingkuh saat mama hamil si kembar. Kakek marah besar gegara itu. Dan yaaa kakek tentu nggak mau anaknya yang bejat itu dapet hasil dari jerih payah beliau.” Lelaki tampan itu mengusakkan hidungnya nyaman di ceruk leher Nalesha, “aku masih hidup saat ini modal beruntung aja. Setelah ketemu kamu kayanya keberuntunganku udah abis.”
Si cantik yang tadinya sibuk mengelus punggung Jericho berusaha menjauh, melempar tatapan tanya dengan alis mengerut kesal.
Enggan lepas dari pelukan hangatnya, Jericho kembali menarik lengan Nalesha, “maksudnya keberuntunganku udah abis dipake biar ketemu sama kamu.”
Okay, Nalesha antara mual dan malu saat ini. “Apaan deh??? Basi banget.” Elaknya dengan pipi memerah.
“Beneraaan.” Jericho tertawa renyah, suaranya sedikit serak khas orang mengantuk. “Aku beruntung banget ketemu kamu, Angelface.”
Nalesha yang sudah kepalang malu itu memukul bahu Jericho main-main, “Je, jangan pendem semuanya sendirian ya? Aku tau kamu kuat, tapi kamu juga punya hati. Kasih ke aku kalo bebannya terlalu berat, janji?”
“Promised, Angelface. Now please hug me and go to sleep. I’m so tired.”
Nalesha mendengus dengan tangan yang tetap menepuk punggung Jericho konstan, “stop calling me with that weird pet name.”
“Hmmm…but you’re truly an angel for me, Yong.”
Dengan ini Nalesha berpikir bahwa keduanya sudah memasuki tahap baru dalam sebuah hubungan. Ya kan?